Biografi Ully Sigar Rudasy









Perempuan yang lahir di Garut, 4 Januari 1952 dengan nama lengkap Rulany Indra Gartika Wirahaditenaya ini lebih dikenal dengan nama Ully Sigar Rusady. Sejak kecil, putri pasangan Raden Mas Yus Rusady Wirahaditenaya dan Raden Ayu Marry Zumarya ini telah menggeluti dunia musik. Guru musik pertamanya adalah ayah kandungnya sendiri yang berprofesi sebagai tentara.


Sewaktu masih tinggal di Bandung, sang ayah mengajari Ully yang saat itu masih berusia 8 tahun bermain gitar. Ketika di kelas 1 SMP, ia mengalami cedera di pergelangan tangan kanan dan jari kelingking tangan kiri akibat terjatuh dalam suatu atraksi ''gadis plastik'' yang ia ikuti. ''Bertahun-tahun saya melatih jari tangan kiri, terutama kelingking, untuk menekan dawai, dan tangan kanan untuk memetiknya,'' tutur kakak kandung aktris Paramitha Rusady ini.



Ketika beranjak remaja, ayahnya ditugaskan ke Makassar sehingga Ully dan keluarganya pindah ke ibukota provinsi 
Sulawesi Selatan itu. Di sana sulung dari delapan bersaudara ini mulai mengekspresikan bakat bermusiknya dengan membentuk grup band 
wanita yang diberi nama Puspa Nita dan Shinta Eka Paksi.



Dari Makassar, Ully kemudian pindah ke Jakarta di tahun 1975. Di kota yang menjadi tujuan banyak musisi untuk mengembangkan karir bermusiknya ini, Ully mendalami musik di Yayasan Musik Indonesia. Tak cukup puas, Ully kemudian menambah wawasan bermusiknya dengan berguru pada Arjuna Hutagalung. Selanjutnya selama kurun waktu tahun 1981-1983, ia juga menimba ilmu pada Slamet Abdul Sjukur.



Setelah itu, Ully mencoba menerapkan ilmu yang telah diperolehnya dengan giat mengikuti sejumlah festival musik. Pada Festival Gitar Tunggal jenis Pop se-Indonesia di Bandung, ia berhasil keluar sebagai juara kedua. Selain piawai memetik gitar, ia juga seorang pencipta lagu cukup berbakat. Dalam Festival Lagu Populer Tingkat Nasional, dua dari sepuluh lagu ciptaannya berhasil terpilih sebagai lagu terbaik. Pertama, lagu Akhir Balada yang dinyanyikan secara duet oleh Zwesti Wirabuana dan Ade Manuhutu. Kedua, lagu Harmonie Kehidupan yang dinyanyikan Dhenok Wahyudi, yang kemudian menjadi duta Indonesia ke Festival Pop Song Tingkat International di Budokan Hall, Tokyo, tahun 1978. Ketika itu ia ikut tampil mendampingi Dhenok dengan menggunakan ikat kepala suku Dayak yang kemudian menjadi ciri khasnya hingga saat ini. Penampilan unik 
perempuan berdarah Sunda itu akhirnya membuatnya dinobatkan sebagai The Best Dresser's.



Ully terus menunjukkan eksistensinya dengan mengikuti berbagai ajang musik bergengsi seperti Festival Lagu Populer Tingkat Nasional 1978 dan 1981, serta Lomba Karya Cipta Lagu Asean Populer Song Festival tahun 1982 dan 1983. Bakat seni Ully rupanya juga menurun pada salah satu putrinya, Elsa F Sigar. Dalam ajang yang sama, Elsa yang ketika itu masih berusia 8 tahun menjadi pencipta lagu termuda dan memenangkan salah satu penghargaan dengan lagu ciptaannya, Rumah yang Manis.



Setelah itu, Ully Sigar kian produktif menciptakan lagu bahkan konon jumlahnya mencapai angka ratusan. Lagu-lagu ciptaan istri 
pengusaha Ronny Sigar itu banyak dinyanyikan oleh 
penyanyi ternama di zamannya, seperti Nur Afni Octavia, Anggun C Sasmi, Ita Purnamasari, Bangkit Sanjaya, SAS, Arthur Kaunang, dan Sonatha Tanjung. Selain nama-nama beken tadi, Ully juga merupakan musisi yang berjasa mengorbitkan 
penyanyi Maya Rumantir dan lady rocker Nicky Astria.



Ibu tiga anak ini mulai dikenal sebagai solois ketika menelurkan album perdananya di tahun 1978, Rimba Gelap produksi label rekaman Irama Mas. Tiga tahun kemudian, album berjudul Pelita Dalam Gulita dirilis. Selanjutnya berturut-turut di tahun 1983 dan 1986, Ully Sigar Rusady merilis album Pengakuan dan Senandung Kabut Biru. Kebanyakan lirik-lirik lagu yang dibawakannya bertemakan perjuangan.



Kecintaannya pada dunia musik pada akhirnya mendorong Ully untuk mendirikan sekolah musik bernama Vini Vidi Vici. Tempat mencetak musisi-musisi muda berbakat itu pertama kali didirikan di Jalan Melawai Raya, Kebayoran Baru, Jakarta. Pada akhir Desember 1982, bangunannya terbakar sehingga mengakibatkan kerugian sekitar Rp 30 juta. Menyikapi musibah yang menimpanya, Ully dengan tenang berkata, ''Mungkin Tuhan sedang menguji saya.'' Tak ingin tenggelam dalam kesedihan, ia justru membangun kembali tempat itu. Kini, Yayasan Vini Vidi Vici telah memiliki belasan cabang di Jakarta dan di beberapa kota lain.



Nama besarnya sebagai musisi seakan mulai menghilang seiring dengan kegiatannya sebagai 
Aktivis di dunia pelestarian lingkungan hidup. 
wanita yang gemar melukis dan membuat puisi ini mengaku sudah mengurangi jadwal manggungnya. Jika belakangan ia lebih menikmati perannya sebagai 
Aktivis, Ully mengaku memang menyukai alam sejak kecil.



Namun bukan berarti ia sudah sama sekali meninggalkan dunia tarik suara yang telah membesarkan namanya. Di tahun 2005, ia sempat tampil berkolaborasi dengan Kelompok Nyanyian Alam dalam ajang World Music Oriental Festival (WOMF) di Sarajevo. Saat itu mereka membawakan lagu Musim Tanam dan berhasil memenangkan dua kategori penghargaan, sebagai The Best Performance dan Audience Favorites melalui voting penonton dan televisi dunia.



Sedangkan sebagai 
Aktivis lingkungan hidup, dedikasi Ully memang pantas mendapat apresiasi setinggi-tingginya. Meski usianya telah memasuki setengah abad lebih, semangatnya dalam "menghijaukan" Indonesia tak pernah meredup. Ia gencar melakukan kegiatan pemeliharaan alam seperti dengan menjadikan hutan sebagai rumah. Atas kiprahnya itu, berbagai penghargaan pun berhasil diraihnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Antara lain, penghargaan Asean Development Citra Awards 1999-2000 dan Piagam Penghargaan Global 500 dari Badan PBB UNEP 1988.



Sebagai aktivis lingkungan hidup, dedikasi Ully memang pantas mendapat apresiasi setinggi-tingginya. Meski usianya telah memasuki setengah abad lebih, semangatnya dalam "menghijaukan" Indonesia tak pernah meredup. Ia gencar melakukan kegiatan pemeliharaan alam seperti dengan menjadikan hutan sebagai rumah. Atas kiprahnya itu, berbagai penghargaan pun berhasil diraihnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kepeduliannya terhadap lingkungan juga ia salurkan lewat Yayasan Garuda Nusantara (YGN) yang ia dirikan pada 1985. Melalui yayasan itu, Ully membuka kelompok-kelompok pecinta alam dan lingkungan. Pandu Lingkungan Hidup (PLH) merupakan salah satu kelompok pecinta lingkungan yang pertama kali dibentuk dan berada di Balikpapan. Selanjutnya YGN terus berkelana membentuk kelompok serupa. Menurutnya, tujuan utama dibentuknya kelompok pecinta alam adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Hasil akhir yang diharapkan adalah perubahan perilaku setiap manusia terhadap lingkungannya.



Sayangnya, niat mulia Ully untuk menjaga kelestarian lingkungan tidak didukung dengan dana kampanye lingkungan yang cukup. Ia mengakui, dana yang disediakan pemerintah sangat sedikit sementara untuk mengelola YGN diperlukan dana yang cukup besar. Oleh sebab itu, YGN terus menggalang hubungan dengan donatur-donatur, seperti memanfaatkan Production House (PH) yang peduli terhadap masalah lingkungan alam dan tak ketinggalan sang adik, Paramitha Rusady. Aktris yang akrab disapa Mita itu memang sering terlihat mendampingi Ully dalam berbagai kampanye lingkungan hidup. Partisipasi Mita bahkan diwujudkan dengan tampil sebagai bintang utama dalam salah satu produksi sinetron kakaknya yang berjudul Anak-anak Angin.



Sinetron yang tayang 12 episode ini terbilang cukup menarik karena banyak mengambil tema masalah lingkungan hidup. Lokasi pengambilan gambar untuk sinetron itu sendiri dilakukan di Gunung Pancar, Desa Cimandala, Bogor, Jawa Barat yang kebetulan merupakan milik Ully yang dibuat jadi laboratorium pelestarian alam. Di Gunung Pancar ini pula, sejak tahun 1985, Ully melatih sekitar 30.000 pemuda dari seluruh Indonesia untuk mencintai alam.



Upaya Ully untuk menularkan kepeduliannya terhadap alam kepada generasi muda dinilainya jauh lebih penting ketimbang mencari pihak-pihak yang harus bertanggung jawab dalam kerusakan hutan. "Kerusakan sudah demikian parahnya, tapi kita tidak usah bertanya lagi siapa yang merusak hutan, yang penting sekarang kita berpikir, apa yang harus kita lakukan," tegas Ully bijak.



Ia heran karena saat ini seolah ada tren saling menyalahkan, hobi mencari polemik, baik di masyarakat atau di kalangan pemerintah. Ully berpendapat, seharusnya rakyat atas nama ketulusan mencoba membantu penyelamatan lingkungan dengan memulainya dari diri sendiri dan keluarga.



"Jadi, jangan berharap dari pemerintah terus, rakyat dulu (yang harus melakukannya). Dengan catatan, pemerintah juga harus banyak memperbaiki konsep-konsep yang tidak berjalan. Sekarang kita jangan lagi 'jemput bola', tapi harus 'kejar bola'," tegas alumni Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta ini seperti dikutip dari situs Gemari Online.



Ully juga menegaskan, kita jangan hanya menyalahkan masyarakat perambah karena sebenarnya yang salah adalah kita semua. "Ada saling keterkaitan dalam masalah ini. Misalnya, ada orang yang tahu hutan dirusak, tetapi diam saja, itu adalah perbuatan salah. Jadi yang salah itu bukan hanya yang menebang hutan, tetapi orang yang tahu namun diam saja juga salah," paparnya.



Sekarang yang harus segera dilakukan adalah merubah perilaku masyarakat dalam hal perlindungan alam dan lingkungan. Masyarakat ini bisa termasuk 
pengusaha dan kita semua. Menurut peraih penghargaan Kalpataru tahun 2001 ini, percuma saja mengadakan banyak seminar tentang masalah pelestarian lingkungan tapi tidak mengubah perilaku. eti | muli, red

Sumber: http://www.tokohindonesia.com
Copyright © tokohindonesia.com






Comments

Popular posts from this blog

Kontroversi Seputar Lagu Child in Time (Oleh Akman Sinaga)

Biografi Krisna J. Sadrach "Sucker Head" - Legenda Trash Metal

Biografi Rotor - Band Thrash Metal dari Indonesia