Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia (Oleh Denny Sakrie)



30 tahun silam, sebuah radio anak muda yang mangkal di Jalan Borobudur Menteng, Jakarta Pusat, mengukir sejarah baru dalam industri musik pop Indonesia dengan mengadakan sebuah ajang kompetisi cipta lagu bertajuk 'Lomba Cipta Lagu Remaja' Prambors (LCLR). Kenapa disebut sejarah baru ? Karena, dari lomba ini akhirnya terjaring sederet lagu-lagu yang memiliki karakter berbeda dengan musik pop yang tengah meraja di industri musik Indonesia.

Di era paruh 70-an itu, musik pop Indonesia dikuasai oleh grup-grup pop seperti Koes Plus, Favorites Group, Panbers, The Mercy's, hingga D'Lloyd. Pukul rata warna musik yang mereka tampilkan cenderung sama yakni kesederhanaan dalam melodi, akord, hingga pola penulisan lirik lagunya. Remy Silado, pengamat musik sohor saat itu, mengkritik bahwa terjadi pendangkalan tema dalam musik pop kita. ''Hampir semua lagu liriknya dipenuhi dengan kata 'mengapa''' tulis Remy Silado di sebuah majalah.

Stagnasi
Selain ingin menggalang potensi kreatifitas anak muda dalam penciptaan lagu, Lomba Cipta Lagu Remaja ini, menurut Imran Amir dari Radio Prambors, ajang kompetisi ini mendobrak stagnasi dalam industri musik pop yang cenderung memihak pada sisi komersial belaka. Akhirnya, musik pop cenderung tunggal nada dan mencapai titik kulminasi. Hampir tidak ada terobosan baru.

Sebetulnya semangat membuat sesuatu yang baru telah dilakukan sejumlah pemusik semisal Harry Roesli, Leo Kristi, Guruh Gipsy, dan yang lainnya. Tapi, karya-karya semacam itu tak pernah dilirik oleh para pengusaha rekaman, karena dianggap tidak memiliki daya jual. ''Saat itu musik pop kita tak ubahnya dagangan yang hampir tidak memikirkan kualitas,' ungkap Sys NS, salah satu panitia LCLR Prambors.

Memang, pada saat itu telah kokoh berdiri ajang Festival Lagu Pop Indonesia yang dirintis sejak tahun 1971. Tapi, ajang ini dari tahun ke tahun terbelenggu dalam pola musik yang nyaris tak berkembang. Justru LCLR bisa dianggap lebih hirau dengan tren musik yang tengah berkecambah di penjuru dunia.

Itu jelas tercermin pada Lomba Cipta Lagu Remaja 1977 yang berhasil menetaskan lagu Kemelut karya Junaedi Salat sebagai juara 1 dan Lilin-lilin Kecil karya James F Sundah yang terpilih sebagai lagu yang paling banyak disukai pendengar dengan istilah ala Prambors: 'Lagu Tersayang'.

Dari deretan 10 pemenang LCLR 1977, itu terdapat tiga tembang yang diciptakan oleh Kelompok Vokal SMA III Jakarta yang berada di kawasan Setiabudi, masing-masing Akhir Sebuah Opera, Angin, dan Di Malam Kala Sang Sukma Datang. Siswa siswa SMA III yang menulis lagu-lagu itu adalah Fariz RM, Adjie Soetama, dan Raidy Noor, yang di kemudian hari dikenal sebagai penggerak musik pop Indonesia.

Pada LCLR 1978 terpilih lagu Khayal karya Christ Kaihatu dan Tommy WS (keduanya telah meninggal dunia) sebagai juara 1. Namun, lagu Kidung karya Christ Manusama, terpilih sebagai 'Lagu Tersayang' berdasarkan polling pendengar.

Kontribusi Komposer
Dari ajang LCLR ini tercatat menghasilkan sederet pencipta lagu yang kemudian memberikan kontribusi terhadap konstelasi musik pop Indonesia mulai dari James F Sundah, Baskoro, Chris Manuel Manusama, Harry Sabar, Fariz RM, Raidy Noor, Adjie Soetama, Ikang Fawzy, dan Dian Pramana Poetra. Terus ada lagi nama Bagoes A Ariyanto, Sam Bobo, Christ Kaihatu, Tommy Marie, Ingrid Widjanarko, Denny Hatami, Edwin Saladin, Didi AGP, Iszur Muchtar, Yovie Widianto, Bram Moersas, Roedyanto, dan banyak lagi.

Gaung ajang LCLR ini memang menggetarkan industri musik pop negeri ini. Secara kebetulan, pada era 1977-1978 sederet pemusik kita memang tengah bersemangat menghasilkan karya-karya yang merupakan alternatif dari musik pop yang tengah bertahta. Mereka adalah Chrisye, Keenan Nasution, Eros Djarot, God Bless, Noor Bersaudara, Harry Roesli, Giant Step, dan masih banyak lagi.

Tren Musik
Coba saja simak tata musik yang disajikan Yockie Soerjoprajogo dalam LCLR 1977 dan 1978 yang cenderung mengadopsi anasir musik rock progresif yang didominasi instrumen keyboard, seperti yang terdengar pada grup-grup mancanegara Genesis, Yes, maupun Emerson Lake & Palmer. Aransemen yang kerap disebut berciri simfonik ini cenderung menghasilkan atmosfer musik yang lebih megah dan tebal.

Lalu simaklah aransemen LCLR 1979 yang digarap Debby Nasution dan Addie MS dengan penonjolan pada warna klasik dan rhythm and blues. Debby yang terpengaruh atmosfer klasik Johann Sebastian Bach banyak menghadirkan suara hammond organ sedang Addie MS terlihat mengadopsi gaya soul R&B ala Earth Wind & Fire.

Pengaruh jazz mulai terlihat pada LCLR 1980 yang tata musiknya digarap Abadi Soesman dan Benny Likumahuwa. Pada saat bersamaan tren musik memang tengah diramaikan oleh musik bercorak jazz. Kesimpulannya, ajang LCLR ini memang selalu mengedepankan tren musik yang tengah merebak.

Sayangnya, ajang LCLR ini sudah tak terdengar lagi kiprahnya. Penyebabnya mungkin adalah pergeseran zaman, di mana anak muda sekarang sudah tak tergantung lagi pada ajang-ajang kompetisi semacam ini untuk menembus industri rekaman. Kini mereka dengan konsep D.I.Y (Do It Yourself) yang berkecambah dalam komunitas indie, bisa melakukan apa saja, menulis lagu, memproduksi, dan mengedarkannya sendiri. Bahkan dengan teknologi yang kian berkembang, anak muda sekarang telah mampu memperkenalkan musik mereka melalui wadah semacam my space atau youtube.com.

Tapi, lagu-lagu dari ajang LCLR hingga kini pun masih bergaung dimana-mana. Entah itu Lilin-lilin Kecil, Kidung, Khayal, Apatis, Menepis Bayang Kasih, dan banyak lagi.


Tulisan ini dimuat di Harian Republika,Senin,2007
Diambil dari blog pribadinya Denny Sakrie



Comments

  1. Sebuah media yg patut dikembangkan secara terus menerus,,,bagaimana dengan Tahun ini???

    ReplyDelete
  2. 2021 masih setia.
    Apakabar semuanya?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kontroversi Seputar Lagu Child in Time (Oleh Akman Sinaga)

Biografi Krisna J. Sadrach "Sucker Head" - Legenda Trash Metal

Biografi Rotor - Band Thrash Metal dari Indonesia