Anané (reviewed by Denny Sakrie)



Ada konser musik bertajuk aneh di New London Theater pada 12 Maret 1978, Rock In Opposition (RIO), yang menampilkan lima kelompok musik rock eksperimental Eropa: Henry Cow (Inggris), Samla Mammas Manna (Swedia), Stormy Six (Italia), Univers Zero (Belgia), dan Etron Fou Leloblan (Prancis). Lalu, apa makna oposisi yang mereka gaungkan?

Kelima kelompok musik rock menyimpang ini dengan tegas menyatakan sikap beroposisi terhadap industri musik. Mereka ingin berkarya lebih bebas, tanpa terbelenggu kompromi seperti lazimnya musik produk industri.

Agak susah mendefinisikan aliran musik yang cenderung eklektik ini. Ada ranah rock progresif, improvisasi jazz, musik rakyat, dan eksperimentasi ekstrem. Tapi, RIO lalu berubah menjadi sebuah gerilya musik, bahkan menjadi subgenre rock progresif.

Dua puluh tujuh tahun berselang, genre RIO ini mencuat dari Yogyakarta dalam diri ”Anane”. Grup yang didirikan pada 2003 itu didukung pemusik yang rata-rata pernah mengecap pendidikan musik akademis: Firman Sitompoel (cello, gitar akustik), Joeliyandi (flute, gitar elektrik/akustik), Andri Rustandi (bas), Andi Gomes (piano, keyboard), Daniel Caesar (drum), Pramono Pamungkas (saksofon, piccolo, flute, suling bambu), dan Soedarman (jembe, perkusi).

Dengan gagasan musik interkultural, ”Anane” seperti mengoposisikan jatidiri musiknya terhadap riuhnya industri musik pop. Namun, sikap oposisi Anane diselimuti gaya Yogya, yang emoh berkonflik terbuka. ”We are neither skeptic nor opposed to the pop culture,” demikian bunyi pernyataan mereka di sampul album bertajuk The Evolution Ethnic, yang dirilis PRS Record, sublabel Sony Music BMG Entertainment Music Indonesia yang khusus merilis genre musik rock progresif.

Anane lebih suka menyajikan sikap oposisi itu melalui pembenturan elemen etnis dengan subgenre musik seperti free jazz, psychedelic, hingga rock progresif. Mereka menyatakan telah mengolah musik tradisi melalui pendekatan musik modern, tanpa menindas baik yang tradisi maupun yang modern. Ini memang bukan sesuatu yang baru. Guruh Gipsy, Gang of Harry Roesli, Genggong, Discus, Krakatau, dan banyak lagi telah melakukannya.

Namun, yang baru dari Anane kita rasakan karena antara idiom musik etnik dan Barat diupayakan benar berporsi sama. Misalnya pada Slebar Slebor, yang mengangkat lagu tradisional Makassar dengan mengambil ritme lagu repetitif sebagai dasar ritme komposisinya. Lalu anasir jazz rock mengimbuhinya dengan pola unison antara saksofon, gitar, dan bas. Rentak instrumen jembe pun memberi aksentuasi perkusif nan impulsif.

Semangat untuk bangkit melawan segala penindasan bisa dirasakan dalam komposisi yang ditulis Firman Sitompoel dan Joeliyandi dalam Kekeberen Ni Pejuang dengan pola ritme khas etnis Timur yang cenderung bersukat ganjil. Anane berupaya keras menakwilkan etos peperangan dalam komposisi yang merangkum banyak dialek musik, mulai dari Turki, Melayu, Pelog, hingga Hadrah Kuntulan Banyuwangi, berpadu dengan solo piano jazz yang dibayangi rentak rancak drum serta distorsi gitar rock yang menyempil di sana-sini.

Anane juga piawai merangkai-rangkai pelbagai idiom musik. Simaklah Perueren, yang berdurasi 10,40 menit, sebuah lagu Didong karya seniman Gayo Ceh Dman Dewantara yang bertutur tentang norma-norma leluhur kita. Secara implisit, lagu ini terasa bernilai humor ketika dalam tatanan musiknya tiba-tiba menyeruak gitar flamenco, bahkan waltz. Ini mengingatkan kita pada kejahilan musik Frank Zappa.

Sedangkan dalam Ho Ho Hi Heh, Anane mencoba mendeskripsikan ritual percintaan sensual, dengan awalan mantra berbahasa Aceh Gayo yang biasa digunakan memelet lawan jenis dengan latar bunyi keyboard kental bernuansa psychedelic, lalu dirangkai dengan Ho Ho, nyanyian ratapan suku Nias. Puncaknya adalah deskripsi pasangan yang melakukan Ho Ho Hi Heh, istilah Surabaya untuk ”sanggama”. Menyuarakan adegan ini dengan improvisasi saksofon ala Ornette Coleman yang tekstural adalah pilihan cerdik.

Anane memang seperti asyik memanfaatkan musik Timur dan Barat sebagai efek bunyi dalam sebuah skor musik yang komprehensif dan imajinatif. Sayangnya, mereka terlalu bersemangat mencampuradukkan idiomidiom bunyi tersebut hingga terkadang berkesan tidak kontekstual. Sepertinya, Anane perlu mengutak-atik kerangka berpikir tematis yang digarap lebih dalam lagi, entah itu protes dalam bentuk metafora atau radikal seperti lazimnya pemusik subgenre RIO, agar karya mereka bisa lebih bernas lagi, tidak asal beroposisi.

Tempo Edisi. 27/XXXIV/29 Agustus - 04 September 2005 
(Diambil dari website Indonesian Progressive Society)


Anané - Tung Alung Alung







Comments

Popular posts from this blog

Kontroversi Seputar Lagu Child in Time (Oleh Akman Sinaga)

Biografi Krisna J. Sadrach "Sucker Head" - Legenda Trash Metal

Biografi Rotor - Band Thrash Metal dari Indonesia